Jejak Sejarah di Modo Lamongan, Mulai Prasasti Sedah hingga Gajah Mada
1.Jejak Sejarah di Modo Lamongan, Mulai Prasasti Sedah hingga Gajah Mada
Lamongan – Berada jauh dari pusat kota Lamongan, Kecamatan Modo ternyata menyimpan banyak peninggalan sejarah. Tercatat setidaknya ada 8 prasasti kuno yang diperkirakan dari masa Airlangga hingga masa Majapahit yang ditemukan di kecamatan ini.
Pemerhati budaya dari Lamongan Supriyo mengungkapkan beberapa penelitian yang dilakukan menemukan banyak sebaran penemuan benda-benda purbakala di Kecamatan yang berjarak lebih kurang 35 km dari Lamongan kota ini. Temuan benda-benda purbakala itupun, menurut Priyo, cukup beragam mulai dari lingga-yoni, pecahan keramik kuno hingga batu prasasti.
“Dalam catatan saya, untuk prasasti yang ditemukan di Kecamatan Modo ini jumlahnya juga sangat banyak, yaitu mencapai 8 prasasti,” kata Supriyo saat berbincang dengan detikJatim, Kamis (2/3/2023).
Salah satu prasasti yang hingga kini masih tetap berada di tempatnya adalah Prasasti Sambangan 1 dan Sambangan 2 yang berada di Desa Sambangrejo, Kecamatan Modo. Dua prasasti yang ditemukan di kebun jagung milik warga ini pun jaraknya hanya belasan meter. Hingga kini, prasasti itupun masih terpendam di dalam tanah yang diperkirakan dari masa Airlangga atau dari masa Majapahit.
“Apapun kondisinya hari ini, ini adalah jejak-jejak peradaban yang saat ini ada di Modo,” ujarnya.
Supriyo memaparkan prasasti Sambangan 1 terletak di tengah-tengah areal persawahan milik Parlan, warga desa setempat dimana di sebelah baratnya saat ini ada sendang desa. Prasasti ini yang terlihat hanya sebagian badan prasasti. Bentuk bagian atas prasasti kurawal atau akolade dengan permukaan yang kasar dan berlubang-lubang dan memiliki ketinggian sekitar 65 cm, lebar 72 cm, ketebalan 14 cm dan berbahan bahan putih.
“Kondisi atau keadaan prasasti tidak terawat, prasasti ini tulisannya juga sudah tidak terlihat lagi,” ungkapnya.
Untuk Prasasti Sambangan 2, jelas Supriyo, juga masih berada di sawah milik Parlan dengan jarak hanya belasan meter dan tepat berada di pematang sawah. Sebagian besar tubuh prasasti juga masih tertanam di dalam tanah dan hanya terlihat sebagian saja. Sama dengan prasasti Sambangan 1, permukaan prasasti Sambangan 2 juga kasar dan berlubang-lubang sehingga tulisannya sulit dikenali.
“Keadaan prasasti juga tidak terawat. Prasasti ini berketinggian 47 cm, lebar 73 cm, berketebalan 29 cm dan berbahan batu putih,” ucapnya.
Dua prasasti yang hanya berjarak belasan meter ini, lanjut Priyo, juga mengundang tanya karena belum diketahui apakah prasasti tersebut dari masa yang sama atau dari masa yang berbeda. Keberadaan prasasti inipun, tambah Priyo, memiliki arti betapa pentingnya Modo di masa lalu. Pahatan huruf yang ada pada prasasti juga belum bisa nampak secara keseluruhan meski ada sisa-sisa pahatan pada batu prasasti tersebut.
“Prasasti Sambangan 2 ini kami perkirakan dari masa Airlangga, sementara prasasti yang satunya belum bisa diketahui apakah dari masa yang sama atau dari masa yang berbeda. Keberadaan 2 prasasti yang berdekatan ini, meski belum diketahui dari masa apa, tapi sudah menunjukkan arti penting kawasan Modo di masa lalu,” tandasnya.
Kades Sambangrejo, Kecamatan Modo Sodiq Mundhofar juga mengakui jika di desanya ada 2 prasasti yang jaraknya berdekatan. Sejak lama, ucap Sodiq, prasasti tersebut tetap berada di tempatnya dan tidak pernah ada warga yang mengusiknya. Selain 2 prasasti tersebut, Sodiq juga menyebut jika ada satu sendang di desanya yang dikenal dengan nama Sendang Graman yang oleh warga sekitar juga dikeramatkan.
“Sejak lama, Sendang Graman ini dikenal akan mendapat berkah bagi siapapun yang mandi atau minum dari sendang ini,” terang Sodiq yang menyebut jika sumber Sendang Graman juga tidak pernah kering.
2.Di Modo Ada Prasasti Sedah yang Kerap Dihubungkan dengan Empu Sedah
Selain 2 prasasti yang hanya berjarak beberapa meter ini, ada satu lagi prasasti di Modo yang kerap dihubungkan dengan keberadaan Empu Sedah, sang penulis Kakawin Bharatayudha. Prasasti itu adalah Prasasti Sedah yang berada di Dusun Sedah, Desa Pule, Kecamatan Modo.
Pemerhati budaya asal Lamongan Supriyo menyebut jika masih banyak prasasti yang juga ditemukan di wilayah Kecamatan Modo seperti halnya Prasasti Sedah yang ada di Dusun Sedah, Desa Pule Kecamatan Modo. Kondisi prasasti ini sudah sangat aus, sehingga tidak dikenali lagi jejak aksaranya atau bisa jadi baru sekedar bakalan prasasti.
“Sesuai namanya, keberadaannya sering dikaitkan dengan Empu Sedah, pujangga Jawa yang menulis Kakawin Bharatayuddha dalam bahasa Jawa kuno,” kata Supriyo kepada detikJatim, Kamis (3/2/2023).
Prasasti ini berketinggian 153 cm, lebar 95 cm, ketebalan 29 cm dan berbahan batu putih dan cukup terlindungi dengan keberadaan sebuah cungkup yang dibuat secara permanen dan berpagar besi di sekitar lokasi prasasti.
“Dari sedikit yang saya ketahui mengenai nama Dusun Sedah, tampaknya nama Sedah sangat berkaitan dengan keberadaan Punden Sentono ini yang konon dipercaya sebagai Petilasan Empu Sedah yang hidup pada masa Kerajaan Kadiri di Abad 11,” terang Priyo.
Di sekitar prasasti, berjarak sekitar 200 meter juga terdapat sebuah Punden yang oleh warga setempat dinamakan Punden Sentono. Namun tidak diketahui pasti, apakah antara batu prasasti dan punden ini saling berhubungan atau tidak. Tidak ada juga catatan mengenai prasasti ini dari penelitian ataupun register yang pernah dilakukan sebelumnya.
“Belum diketahui hubungan antara prasasti dengan situs Punden Sentono yang letaknya berdekatan itu,” paparnya.
3.Cerita Tutur Kisahkan Masa Kecil Gajah Mada Dihabiskan di Modo
Cerita tutur yang berkembang masyarakat di Kecamatan Modo ini juga kerap mengisahkan tentang Joko Modo. Sosok yang nantinya dikenal sebagai Mahapatih Gajah Mada itu menghabiskan masa kecilnya di Modo.
Siapa yang tak kenal Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang terkenal dengan sumpah palapa itu. Di Modo inilah, tepatnya di situs Sitinggil yang ada di Kecamatan Modo, Joko Modo atau Gajah Mada menghabiskan masa kecilnya.
“Dinamai situs sitinggil karena memang letaknya yang lebih tinggi dari kawasan di sekitarnya dan lebih dikenal oleh masyarakat sebagai petilasan Joko Modo, nama kecil Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit,” kata Camat Modo, Ahmad Koerniawan saat berincang dengan detikJatim, Rabu (1/3/2023).
Situs Sitinggil memiliki luas bangunan sekitar 6×6 meter untuk bagian bawah atau dasarnya dan puncaknya memiliki luas sekitar 2×2 meter dan tingginya sekitar 2 meter. Tempat ini, terang Koerniawan, dari cerita tutur adalah tempat masa kecil Mahapatih Gajah Mada.
Dan di tempat inilah Joko Modo mendapat inspirasi untuk mengabdi di Majapahit, dengan mengikuti sayembara untuk menjadi prajurit Majapahit. Cerita lokal masyarakat Modo seringkali mengidentikkan keberadaan wilayah ini dengan nama besar Patih Gajah Mada sewaktu masih remaja ketika masih tinggal di wilayah ini.
“Situs Sitinggil sendiri adalah sebuah tatanan batu-batu alami yang dibentuk menyerupai sebuah punden berundak, dengan beberapa tingkatan dan bagian puncaknya dapat ditempati sebagai aktivitas semedi atau ritual lainnya,” paparnya.
Identifikasi sebagai keluarga dari Mahapatih Gajah Mada dan Joko Modo menghabiskan masa kecil dan remajanya di Modo ini juga diakui oleh pemerhati budaya Supriyo. Dalam salah satu berkas dari masa kolonial Belanda, terang Priyo, warga Modo memang mengidentifikasi diri mereka sebagai keluarga Gajah Mada.
“Dalam dokumen yang ditulis oleh J.A.B Wiselius, seorang controuller Belanda pada tahun 1857 yang menulis soal ‘kerabat gajah mada’,” papar Supriyo.
Dokumen atau berkas masa kolonial ini, tambah Supriyo, juga berseiring dengan cerita tutur yang beredar di masyarakat Modo tentang sosok Gajah Mada muda atau Joko Modo. Cerita tutur itu, ungkap Priyo, menyebut jika Joko Modo adalah anak dari Dewi Andongsari. Joko Modo ketika mengembala kerbau di desa yang ada di Modo, ia sering melihat iring-iringan tentara Majapahit sehingga timbul keinginan untuk menjadi prajurit Majapahit.
“Dari cerita tutur masyarakat Sitinggil adalah tempat masa kecil Gajah Mada bermain dan sebelum menyandang gelar Mahapatih,” tuturnya.
Dengan banyaknya temuan benda-benda arkeologis di Kecamatan Modo ini dan cerita tutur terkait sosok Gajah Mada muda atau Joko Modo, Koerniawan berharap ke depan desa-desa di mana ada banyak situs sejarah ini akan bisa kembali bangkit untuk semakin maju. Koerniawan juga berharap agar situs-situs ini menjadi semakin dikenal luas dan Modo menjadi sebagai salah satu daerah yang dikenal luas dengan peninggalan masa Gajah Mada sesuai namanya, Modo.
“Kami berharap agar potensi desa-desa di Modo dengan peninggalan sejarahnya ini bisa semakin terangkat dan peran penting Modo di masa lalu bisa kembali digaungkan untuk kejayaan Lamongan,” imbuhnya.
(sun/iwd)
Sumber Berita
Baca artikel detikjatim, “Jejak Sejarah di Modo Lamongan, Mulai Prasasti Sedah hingga Gajah Mada” selengkapnya https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6596745/jejak-sejarah-di-modo-lamongan-mulai-prasasti-sedah-hingga-gajah-mada.